Pembelajaran Berperspektif Gender



Selama tiga hari (30 Juni-2 Juli 2008) saya bersama rekan-rekan guru dari 9 kabupaten mengikuti pelatihan "Pembelajaran Berperspektif Gender" di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Berikut ini rangkumannya.


Isu gender sebenarnya sudah lama menggema di negeri ini. Kuatnya cengkeraman kultur patriarki, disadari atau tidak, telah mempersempit gerak kesetaraan gender dalam berbagai ranah kehidupan. Dalam lingkungan keluarga, misalnya, anak laki-laki "dipaksa" membunuh kepribadiannya yang feminim, lembut, dan emosional. Sebuah pantangan apabila anak lelaki memiliki karakter cengeng dan suka menangis. Anak laki-laki harus kuat dan perkasa. Sebaliknya, anak perempuan juga dipaksa menanggalkan karakternya yang maskulin, rasional, dan aktif.

Pelabelan dan stigma yang stereotipe semacam itu diperkuat dengan masih kuatnya pencitraan masyarakat terhadap posisi kaum perempuan yang hanya layak terjun di ranah domestik atau hanya sekadar menjalankan fungsi reproduktif belaka. Sementara, di ranah publik atau fungsi produktif dan sosial hanya layak diisi oleh kaum lelaki. Akibat pencitraan masyarakat yang "salah kaprah" semacam itu, disadari atau tidak, banyak kaum perempuan yang "takut sukses" di ruang-ruang publik.

Pelabelan dan pencitraan masyarakat patriarki yang cenderung men-subordinasi (menomorduakan) kaum perempuan di ranah publik menjadikan sosok kaum hawa menjadi begitu rentan terhadap ketidakadilan gender, seperti kekerasan , pemiskinan (marginalisasi), maupun beban ganda. Mengguritanya akar patriarki yang demikian kuat di tengah-tengah kehidupan masyarakat membuat isu-isu gender menjadi bias dan salah kaprah. Banyak kaum lelaki yang merasa khawatir bahwa gender akan membuat peran kaum lelaki menyempit. Bahkan, tak jarang yang berpandangan bahwa gender merupakan bentuk "perlawanan" kaum perempuan terhadap kodrat yang akan menyingkirkan peran kaum lelaki di sektor publik.


Selama ini, gender sering disamakan dengan jenis kelamin (seksual) sehingga memunculkan stigma dan pencitraan publik yang keliru. Jenis kelamin atau hal-hal yang berkaitan dengan faktor seksual jelas merupakan bawaan sejak lahir yang secara biologis memang memiliki ciri yang berbeda. Seksual inilah yang berkaitan dengan kodrat sehingga tidak bisa dipertukarkan. Kodrat yang berkaitan dengan fungsi seksual kaum perempuan, misalnya, menstruasi, hamil, atau menyusui. Kodrat semacam itulah yang mustahil bisa dijalankan oleh kaum lelaki.


Gender dibentuk berdasarkan konstruksi sosial yang sangat erat kaitannya dengan masalah kultural, norma, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Setiap kelompok masyarakat, bisa jadi memiliki konstruksi sosial yang berbeda-beda dalam memandang posisi kaum lelaki dan perempuan sehingga akan terus berubah dan berkembang sesuai dengan peradaban yang membentuknya. Emosi, sikap empati, rasio, akal budi, atau hal-hal yang tidak berkaitan dengan kodrat merupakan unsur-unsur gender yang bisa dimiliki oleh kaum laki-laki dan perempuan. Dari sisi ini, sungguh tidak adil kalau ada orang berkata, "Eh, anak lelaki kok menangis, jangan cengeng, dong!" atau "Jadi anak perempuan itu jangan suka berteriak-teriak, dong!" Loh, memang yang bisa menangis itu hanya anak perempuan dan yang bisa berteriak-teriak itu hanya anak lelaki. Ini merupakan beberapa contoh kecil tentang ketidakadilan gender yang sudah demikian kuat mencengkeram kultur masyarakat kita yang patriarkis.

Repotnya, ketidakadilan gender semacam itu terbawa masuk melalui institusi pendidikan. Dunia persekolahan, diakui atau tidak, telah menjadi ruang jagal dan pembunuh unsur-unsur gender untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Ketika ada seorang siswa perempuan yang melakukan sedikit penyimpangan, stigma yang bias gender secara tidak sadar sering terlontar;
Eh, kamu anak perempuan kok berani-beraninya menampar pipi anak laki-laki. Kalau dibalas bagaimana? Kamu tak mungkin akan sanggup melawannya!

Tanpa bermaksud untuk menolerir kekerasan di dunia persekolahan, stigma yang bias gender semacam itu sangat tidak kondusif terhadap perkembangan jiwa dan kepribadian siswa perempuan. Mereka telah dibiasakan secara sistematis dan kultural untuk selalu mengalah, pasif, dan serba bergantung. Demikian juga peran siswa perempuan dalam bursa ketua OSIS, petugas upacara, atau kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Buku ajar pun masih banyak yang bias gender, seperti penggunaan ilustrasi "anak perempuan yang selalu membantu ibunya di dapur atau anak laki-laki yang bermain layang-layang". Demikian juga penggunaan kalimat, "Ayah membaca koran, sedangkan ibu memasak di dapur." Secara tidak langsung, penggunaan ilustrasi dan kalimat semacam itu telah memiliki andil untuk menanamkan kepribadian yang bias gender kepada siswa. Muncul stereotipe bahwa anak perempuan tidak pantas bermain layang-layang atau seorang ibu yang tak layak membaca koran.

Sebagai agen perubahan, sudah saatnya dunia persekolahan kita tampil memberikan internalisasi gender secara benar kepada peserta didik. Tidak harus menjadi sebuah mata pelajaran, tetapi diintegrasikan secara inklusif ke dalam proses pembelajaran. Secara lintas-mata pelajaran, para guru diharapkan menanamkan nilai-nilai gender sejak dini ke dalam desain dan proses pembelajaran sehingga anak-anak bangsa negeri ini tidak lagi terjebak dalam kungkungan patriarki yang sangat tidak menguntungkan. Bukan hal yang mudah memang menanamkan nilai-nilai baru di tengah-tengah kuatnya kultur masyarakat yang cenderung bias gender. Namun, jika penanaman dan penyuburan nilai-nilai gender semacam itu tidak terbonsai, pelan tapi pasti, akan lahir "generasi-generasi baru" yang sadar dan responsif terhadap gender.

Desain dan proses pembelajaran berperspektif gender semacam itu jelas akan lebih kontekstual dan memiliki daya tarik bagi siswa jika dikemas secara interaktif dan tidak lagi terjebak ke dalam hafalan dan teori. Dukungan media berbasis teknologi-informasi sangat diperlukan ketika dunia pendidikan sudah mulai mengarah pada pembelajaran elektronik. Tayangan-tayangan gambar berangkai, video, bahkan film, khususnya yang berkeadilan gender dan edukatif, sangat dibutuhkan untuk memberikan citraan baru ke dalam mind-set anak-anak sehingga secara tidak langsung akan membuka wawasan baru.

Lingkungan keluarga pun mesti memulai menginternalisasikan unsur-unsur gender secara benar sejak dini kepada anak-anak sehingga tidak lagi muncul stigma, pelabelan, penomorduaan, marginalisasi peran, beban ganda, atau kekerasan yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum perempuan. Mengapa tidak dimulai dari sekarang? ***

This entry was posted on Monday, July 06, 2009 and is filed under , , , . View Comments
blog comments powered by Disqus
Related Posts with Thumbnails