Guru sebagai Peneliti
2009
Ketika Depdiknas meluncurkan model penelitian berbasis tindakan kelas (PTK), predikat guru pun bertambah. Guru tak hanya sebatas menjadi “tukang ajar” yang ruang geraknya dibatasi empat dinding ruang kelas, tetapi diharapkan juga menjadi seorang peneliti. Melalui PTK yang dilakukan, guru diharapkan menjadi “pionir” sekaligus “inovator” pembelajaran yang mampu menciptakan atmosfer pembelajaran secara menarik dan memikat sehingga siswa didiknya merasa nyaman dan menyenangkan ketika mengikuti proses pembelajaran.
PTK sangat memberikan peluang kepada para guru untuk melakukan hal itu. Mereka memiliki kebebasan secara kreatif untuk mengujicobakan berbagai pendekatan, strategi, metode, media, atau bahan ajar ke dalam proses pembelajaran yang dikelolanya. Ibarat dokter, gurulah yang tahu persis “penyakit” yang diderita “pasien”-nya. Berdasarkan diagnosis yang dilakukan, guru diharapkan dapat memberikan obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan sang pasien.
”Naluri” seorang guru sudah pasti akan terus berupaya untuk mencari cara-cara yang tepat agar siswa didiknya tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang cerdas, kreatif, kritis, dan mandiri; terbebas dari cengkeraman berbagai macam ”penyakit” akut. Sayangnya, cara-cara yang diterapkan guru dalam kegiatan pembelajaran seringkali berlangsung secara dadakan, tidak terencana dan terpola, berlangsung sesaat, dan (hampir) tak ada tindak lanjutnya. Itulah sebabnya, gagasan-gagasan brilian dari para ”mahaguru” dari generasi ke generasi tak bisa terwariskan kepada para guru yang lahir kemudian. Mereka tak bisa belajar dari pengalaman dan sejarah masa silam akibat parahnya proses dokumentasi dan minimnya akses informasi terhadap cara-cara jitu dalam mengelola pembelajaran secara menarik dan menyenangkan. Tidak berlebihan jika dinamika pembelajaran dalam dunia pendidikan kita tampil begitu stagnan dan membosankan. Imbasnya, generasi yang lahir dari ”rahim” dunia pendidikan kita (nyaris) gagal menjadi sosok yang cerdas dan berkarakter.
PTK sejatinya merupakan upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengelola pembelajaran secara menarik dan menyenangkan sehingga memiliki imbas positif terhadap lahirnya generasi masa depan yang cerdas, kritis, dan berkarakter melalui kegiatan perencanaan, pelaksanaan aksi (tindakan), observasi, dan refleksi berdasarkan prosedur ilmiah. Setiap perubahan yang terjadi, baik yang berkaitan dengan proses pembelajaran maupun hasil-hasilnya, perlu didokumentasikan dengan baik, untuk selanjutnya dianalisis dan direfleksi sehingga memiliki kejelasan alur dan penalaran dari sisi keilmuan.
Kondisi semacam itu jelas membutuhkan perhatian yang lebih serius dari para pengambil kebijakan. Keberadaan FIG sebenarnya cukup strategis dalam membantu para guru untuk melakukan PTK. Dengan dukungan guru-guru muda yang sarat dengan idealisme, FIG selalu ”jemput bola” dalam menyampaikan informasi-informasi penting kepada para guru yang berkaitan dengan kegiatan dalam forum ilmiah. Namun, kiprah mereka lama-kelamaan bisa menjadi ”mandul” jika tidak diimbangi dengan dukungan kebijakan dan finansial yang memadai. Setidaknya, perlu ada dukungan dana operasional untuk menggelar berbagai kegiatan ilmiah, baik secara rutin maupun insidental. Bahkan, Pemda perlu mengambil langkah antisipatif dengan mengalokasikan anggaran khusus untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang digelar FIG.
Dengan dukungan kebijakan dan finansial yang memadai, keberadaan FIG diharapkan akan lebih eksis dalam menciptakan atmosfer budaya meneliti di kalangan guru sehingga predikat guru sebagai peneliti tak lagi terapung-apung dalam slogan dan retorika. ***