Pendidikan dan Kebangkitan

Oleh Falik Rusdayanto (Direktur The Golden Institute, alumnus Chulalongkorn University Thailand)

Setiap bulan Mei, ada dua momen penting yang patut dijadikan bahan perenungan dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Kedua momen itu yakni Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei dan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pada 20 Mei. Dua hal itu, yakni pendidikan dan kebangkitan, ternyata memiliki kaitan erat. Pendidikan yang baik dan berkualitas akan mengantarkan pada kebangkitan kita sebagai sebuah bangsa.

Mari kita coba memotret pendidikan kita sekaligus melakukan refleksi terhadap kebangkitan yang hendak diraih bangsa ini. Jika kita mau jujur, prestasi pendidikan Indonesia masih berada di alam keterpurukan. UNESCO (2007) mengeluarkan laporan education development index (EDI) yang menempatkan EDI Indonesia pada posisi ke-62 dari 129 negara. Bandingkan dengan Malaysia yang berada di urutan ke-56.

EDI dinilai dari berbagai indikator. Di antaranya partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut gender, dan angka bertahan hingga kelas lima sekolah dasar. The World Economic Forum Swedia (2000) melaporkan, Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yakni hanya di posisi ke-37 dari 57 negara. Survei dari lembaga yang sama juga mencatat posisi Indonesia yang hanya berpredikat sebagai follower teknologi dan bukan sebagai pemimpin dari 53 negara yang disurvei.

Terlepas dari tujuan mulianya, prestasi pendidikan Indonesia pun tak kunjung membaik. Pencapaian prestasi di bidang studi fisika dan matematika siswa Indonesia dalam timbangan dunia internasional terbilang rendah.

Menurut Trends in Mathematic and Science Study (2004), siswa Indonesia hanya berada di peringkat ke-35 (matematika) dan peringkat ke-37 (sains) dari 44 negara. Laporan International Association for the Evaluation of Educational Achievement menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah di antara negara-negara tetangga, yakni Hong Kong 75,5; Singapura 74,0; Thailand 65,1; Malaysia 52,6; dan Indonesia 51,7.

Anak-anak Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan sulit menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Mungkin karena selama ini mereka lebih banyak bersifat menghafal (bukan memahami) akibat bentuk-bentuk soal pilihan ganda yang sangat lazim digunakan di Indonesia. Kelayakan mengajar guru di berbagai satuan pendidikan pun tak kalah memprihatinkan. Untuk SD negeri 21,07%; SD swasta 28,94; SMP negeri 54,12%; SMP swasta 60,99%; SMA negeri 65,29% dan SMA swasta 64,73%; SMK negeri 55,49% dan SMK swasta 58,26%.

Belum lagi, problem-problem sosial yang sering terjadi di kalangan peserta didik seperti tawuran, narkoba, seks bebas, dan berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya telah turut mempertebal "mendung kelabu" yang menaungi dunia pendidikan di Tanah Air. Pertanyaannya, mengapa pendidikan kita terkesan jeblok di tataran dunia dan terseok-seok dalam membentengi moralitas generasi muda?

Apabila ditinjau pada tataran ideologis (prinsip) dan tataran teknis (praktis), akar masalah pendidikan di Indonesia dapat dirangkum dalam dua masalah. Pertama, soal paradigma pendidikan. Kedua, soal praktik di lapangan. Persoalan pertama berupa disorientasi paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaraan sistem pendidikan. Persoalan kedua berupa masalah-masalah cabang seperti keterbatasan sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya prestasi siswa, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, serta rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan.

Jika ditinjau dari definisi menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Karena itu, apa yang terjadi saat ini masih jauh panggang dari api.

Sistem pendidikan kita ternyata belum berhasil dalam mencetak manusia yang "saleh" yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan dunia melalui penguasaan sains dan teknologi.

Perangkap Utang

Gagah rasanya menyebut bahwa kini negeri ini telah memasuki hitungan 102 tahun kebangkitan nasional. Tanggal 20 Mei, lebih dari seratus tahun yang lalu, sebuah seruan kebangkitan berhasil dikumandangkan. Berdirinya organisasi Budi Utomo, yang merupakan organisasi kepemudaan, berhasil menebar semangat kebangkitan para pemuda negeri ini untuk bangkit berjuang melawan penjajahan. Kini, setelah 102 tahun usia kebangkitan negeri ini dan hampir 65 tahun negeri ini menyandang status merdeka, sudahkah kebangkitan dan kemerdekaan tersebut betul-betul ada dalam genggaman tangan kita?

Jika kita coba cermati, kebangkitan dan kemerdekaan yang telah kita miliki selama ini ternyata bukanlah kebangkitan dan kemerdekaan secara penuh. Lihat saja, negara kita dengan utang yang menumpuk. Jika zaman dulu Indonesia dipaksa menjual hasil buminya hanya kepada VOC, kini penjajahannya sudah berbentuk modern yang dibuat melalui penciptaan berbagai ketergantungan ekonomi, intervensi politik, dan penetrasi budaya dari negara-negara maju.

Perangkap utang luar negeri, investasi, dan perdagangan yang tidak adil adalah mekanisme penciptaan ketergantungan bagi negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia). Kondisi ini menyebabkan peralihan surplus dari negara-negara dunia ketiga tersebut ke negara dunia maju sehingga kemiskinan di negara-negara dunia ketiga makin besar. Indonesia adalah contoh nyata. Intervensi politik dari negara maju melalui pemaksaan pelaksanaan liberalisasi dan privatisasi adalah bukti nyata bahwa hingga hari ini, negara-negara dunia ketiga masih dijajah oleh negara maju.

Untuk itu, lahirnya generasi yang tangguh, cerdas, serta memiliki mental kemandirian sangat tinggi ditunggu kehadirannya dalam mewujudkan kebangkitan bagi negeri ini. Generasi seperti ini hanya bisa dilahirkan dari sebuah sistem pendidikan yang tangguh pula. Sistem pendidikan yang tangguh ialah yang secara utuh mencetak generasi bermental baja, siap menghadapi berbagai tantangan, siap menjadi yang terdepan, tak lagi puas hanya menjadi pengikut (follower).

Melalui momen Hardiknas dan Harkitnas, mari kita ingatkan seluruh komponen bangsa akan pentingnya pendidikan berkarakter, pendidikan berkualitas (kurikulum, sarana-prasarana, dan guru berkualitas) dalam mewujudkan kebangkitan negeri ini. ***

Sumber: Suara Karya

This entry was posted on Friday, June 18, 2010 and is filed under , . View Comments
blog comments powered by Disqus
Related Posts with Thumbnails