Perubahan Paradigma


Perubahan Paradigma Pendidikan
Oleh: Sawali

SEIRING dengan perubahan dan dinamika masyarakat yang terus bergerak menuju arus globalisasi, problem dan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia persekolahan kita makin rumit dan kompleks. Sekolah tidak hanya dituntut untuk mampu melahirkan generasi-generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga diharapkan dapat menciptakan generasi bangsa yang cerdas secara emosional dan spiritual.

Dengan kata lain, sekolah dituntut untuk mampu melahirkan generasi yang "utuh" dan "paripurna".
Namun, melahirkan generasi yang "utuh" dan "paripurna" semacam itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan "kemauan politik" para pengambil kebijakan untuk menjadikan dunia pendidikan sebagai "panglima" peradaban, sehingga negeri ini mampu menjadi bangsa yang terhormat dan bermartabat dalam percaturan dunia internasional pada era global. "Kemauan politik" tersebut harus diimbangi dengan semangat dan motivasi segenap komponen dan stakeholder pendidikan, sehingga tidak hanya sekadar menjadi slogan dan retorika belaka.
Era reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 diakui telah melahirkan kebebasan dan keterbukaan di segenap aspek dan ranah kehidupan. Urusan pendidikan yang semula berada dalam genggaman tangan pemerintah pusat, kini mulai dikonsentrasikan ke daerah-daerah melalui kebijakan otonomi daerah yang dianggap lebih aspiratif dan akomodatif terhadap keberagaman dan tuntutan daerah. Namun, era reformasi tidak akan memberikan imbas positif terhadap mutu pendidikan apabila tidak diikuti dengan perubahan paradigma, sikap mental, dan kultur para pengambil kebijakan dan pelaksana pendidikan di tingkat praksis.
Diakui atau tidak, selama bertahun-tahun dunia pendidikan kita terpasung di persimpangan jalan, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara "utuh" dan "paripurna", tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual. Akibatnya, apresiasi out-put pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani, menjadi nihil. Mereka dianggap menjadi "robot-robot" zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistik, dan mau menang sendiri.
Ajang Indoktrinasi
Dengan nada sinis, Andrias Harefa (2000) mengemukakan bahwa sekolah telah dipisahkan dari soal-soal nyata sehari-hari. Ia telah berubah menjadi semacam "sekolah militer", ajang indoktrinasi, dan "kaderisasi" manusia-manusia muda yang harus belajar untuk "patuh" sepenuhnya kepada "sang komandan". Tak ada ruang yang cukup untuk bereksperimentasi, mengembangkan kreativitas, dan belajar menggugat kemapanan status quo yang membelenggu dan menjajah jiwa anak-anak muda. Tak ada upaya yang dapat dianggap sebagai upaya "membangun jiwa bangsa".
Selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah, peserta didik (nyaris) tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan nilai yang berorientasi pada pembentukan watak dan kepribadian. Mereka diperlakukan bagaikan "tong sampah" ilmu pengetahuan yang harus menerima apa saja yang dijejalkan dan disuapkan oleh para guru.
Hal itu diperparah dengan munculnya kebijakan pemerintah masa lalu yang cenderung sentralistis dan otoriter, sehingga memberangus dan mengebiri fungsi sekolah sebagai pusat pendidikan nilai religi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, moral, kemanusiaan, dan semacamnya. Segala macam bentuk praktik pendidikan telah dipola dan diseragamkan dari pusat, sehingga sekolah tidak memiliki peluang untuk menumbuhkembangkan potensi genius-local.
Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.
Dalam konteks demikian, pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, hipokrit, hedonis, dan besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang memadai. Makna pendidikan substansial, yaitu memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jatidirinya secara "utuh" dan "paripurna" melalui sebuah proses yang dialogis, interaktif, efektif, menarik, dan menyenangkan, nyaris tak pernah bergaung dalam dunia pendidikan kita. Dari tahun ke tahun, atmosfer pembelajaran di sekolah tak lebih "memenjarakan" peserta didik untuk bersikap serba patuh, pendiam, miskin inisiatif dan kreativitas.
Mengapa atmosfer pembelajaran dalam dunia persekolahan kita terpasung dalam situasi monoton, kaku, dan membosankan, sehingga gagal melahirkan generasi bangsa yang cerdas, terampil, dan bermoral seperti yang didambakan oleh masyarakat? Paling tidak ada dua argumen yang dapat dikemukakan.
Pertama, diterapkannya sistem single-track yang "membutakan" peserta didik dari persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya, sehingga tidak memiliki sikap kritis dan responsif terhadap persoalan-persoalan hidup.
Kedua, para pengambil kebijakan menjadikan dunia pendidikan -meminjam istilah Zamroni (2000)- sebagai engine of growth; penggerak dan loko pembangunan. Agar proses pendidikan efisien dan efektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori. Namun, disadari atau tidak, kebijakan semacam itu justru membikin dunia pendidikan menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi dengan munculnya berbagai kesenjangan kultural, sosial, dan kesenjangan vokasional yang ditandai dengan melimpahnya pengangguran terdidik.
Karena makin rumit dan kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan, dibutuhkan paradigma pendidikan masa depan yang dinilai lebih mampu menjawab tantangan zaman, yaitu paradigma pendidikan sistemik-organik yang menekankan bahwa segala objek, peristiwa, dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh.
Paradigma pendidikan sistemik-organik menekankan bahwa proses pendidikan formal, sistem persekolahan, harus memiliki ciri-ciri: (1) pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching); (2) pendidikan diorganisir dalam struktur yang fleksibel; (3) pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakter khusus dan mandiri; dan (4) pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan (Zamroni, 2000).
Paradigma pendidikan sistemik-organik menuntut pendidikan bersifat double-tracks, yaitu pendidikan sebagai proses yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan masyarakat pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Dengan sistem semacam ini, dunia pendidikan kita diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman yang senantiasa berubah dengan cepat.
Agen Perubahan
Dalam upaya mengimplementasikan paradigma pendidikan masa depan, peran guru sebagai pilar utama peningkatan mutu pendidikan jelas tidak boleh dipandang sebelah mata. Sudah saatnya guru diberi kebebasan dan keleluasaan untuk mengelola proses pembelajaran secara kreatif, "liar", dan mencerdaskan, sehingga pembelajaran berlangsung efektif, menarik, dan menyenangkan. Sudah bukan saatnya lagi guru dipajang dalam "rumah kaca" yang selalu diawasi gerak-geriknya, sehingga guru yang dianggap "tampil beda" dalam mengelola proses pembelajaran "kena semprit" dan dihambat kariernya.
Dalam Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas (pasal 40 ayat 2) jelas dinyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: (1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; (2) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ini artinya, guru tidak lagi berperan sebagai "piranti negara" yang semata-mata mengabdi untuk kepentingan penguasa, tetapi sebagai "hamba kemanusiaan" yang mengabdikan diri untuk "memanusiakan" generasi bangsa secara "utuh" dan "paripurna" (cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual) sesuai dengan tuntutan zaman.
Dalam konteks demikian, guru harus benar-benar menjadi "agen perubahan" dan menjadi sosok profesional yang senantiasa bersikap responsif dan kritis terhadap berbagai perkembangan dan dinamika peradaban yang terus berlangsung di sekitarnya. Guru - bersama stakeholder pendidikan yang lain - harus selalu menjadikan sekolah bagaikan "magnet" yang mampu mengundang daya pikat anak-anak bangsa untuk berinteraksi, berdialog, dan bercurah pikir dalam suasana lingkungan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Dengan cara demikian, tidak akan terjadi proses deschooling society di mana sekolah mulai dijauhi oleh masyarakat akibat ketidakberdayaan pengelola sekolah dalam menciptakan institusi pembelajaran yang "murah-meriah" di tengah merebaknya gaya hidup hedonistik, konsumtif, materialistik, dan kapitalistik.
Persoalannya sekarang, siapkah sekolah bersama para "penghuni"-nya menghadapi perubahan paradigma pendidikan, "bermetamorfosis" menjadi sebuah institusi yang responsif terhadap tuntutan zaman? Kita tunggu saja! (29)

(Suara Merdeka Senin, 12 Juli 2004)


This entry was posted on Saturday, July 14, 2007 . View Comments
blog comments powered by Disqus
Related Posts with Thumbnails