Mengebiri Karya Guru


PGB DI KENDAL: MENGEBIRI KARYA GURU

Dengan nada malu-malu, puluhan guru dari kelompok TK, SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA “bersaing” untuk meraih predikat guru berprestasi. Dalam ajang Pemilihan Guru Berprestasi (PGB) yang digelar di aula Dinas P dan K Kabupaten Kendal, 2 Juni yang lalu itu, akan dipilih satu orang guru dari tiap-tiap kelompok untuk unjuk prestasi ke jenjang yang lebih bergengsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah.
Persoalannya sekarang, apakah guru yang terpilih dalam PGB yang digelar rutin setiap tahun itu benar-benar memiliki prestasi yang layak dibanggakan sekaligus merepresentasikan kualitas dan kinerja guru di Kabupaten Kendal pada setiap kelompok?


Mengebiri Karya Guru
Ada beberapa hal yang layak dicatat dalam proses PGB 2007 di Kendal. Secara jujur mesti diakui, tercium aroma yang menodai sikap jujur, fair, transparan, dan akuntabel, khususnya untuk kelompok guru SMP/MTs. Pertama, ketidakjelasan jenis karya tulis yang harus disusun peserta sebagai salah satu syarat. Tema yang disediakan panitia –sesuai surat edaran—hanya berbunyi “Peningkatan Mutu Pendidikan“. Tidak heran apabila banyak karya tulis peserta yang bukan laporan hasil penelitian tindakan kelas (PTK) seperti yang dikehendaki panitia atau tim penilai.
Kedua, pelaksanaan tes berlangsung dalam setting ruang yang “semrawut” sehingga memberikan kelonggaran dan keleluasaan bagi peserta untuk menyontek atau bekerja sama. Kemandirian dan kejujuran guru untuk bisa “bersaing” secara fair pun jadi ternoda.
Ketiga, penggunaan soal uraian pada seleksi tahap I. Soal uraian memang memiliki kelebihan, yaitu memberikan kebebasan kepada peserta untuk mengungkapkan daya nalar dan daya kritisnya dalam merespons isi soal. Namun, soal semacam itu juga memiliki kelemahan yang cukup mendasar, yaitu tingginya tingkat subjektivitas korektor dalam menentukan benar-salahnya jawaban. Celakanya, kelemahan semacam itu sering dijadikan alasan pembenar bagi sang korektor dalam menentukan skor atau nilai peserta.
Keempat, tidak tersedianya fasilitas LCD dan laptop pada seleksi tahap II. Padahal, dalam surat edaran, para peserta diminta untuk mengumpulkan materi presentasi dalam bentuk print-out power point. Akibatnya, ada beberapa peserta– setelah enam peserta dinyatakan lolos seleksi tahap I --yang kelimpungan ketika harus melakukan presentasi karya tulis. Mereka terpaksa meminjam laptop dan LCD milik peserta lain. Habislah sebagian besar waktu peserta hanya sekadar untuk “ngurus“ laptop dan LCD. Bobot dan mutu karya tulis yang perlu diuji dari sudut pandang keilmuan dan prosedur ilmiah pun jadi luput dari perhatian.
Kelima, presentasi karya tulis dilakukan dalam ruang tertutup sehingga peserta lain tidak bisa ikut menilai kualitas dan bobot karya tulis peserta yang bersangkutan. Hal ini bisa menimbulkan spekulasi adanya “kecurangan“ tim penilai dalam memuluskan langkah peserta yang telah “dijagokan“. Kalau memang benar demikian, untuk apa seleksi dilakukan? Mengapa tidak “main tunjuk“ saja kepada guru yang telah di-gadhang-gadhang jadi jago?
Keenam, terkebirinya karya dan prestasi guru dalam dokumen portofolio. Padahal, sebagian besar kinerja dan prestasi guru tercermin di sana. Guru telah susah-payah mendokumentasikannya. Butuh kerja keras serta “kristalisasi“ keringat untuk mendapatkannya. Ada beberapa penghargaan sebagai juara tingkat nasional, STTPL, karya penelitian (PTK), setumpuk karya ilmiah populer yang dimuat di media cetak, buku yang diterbitkan, bukti aktivitas dalam organisasi profesi dan kemasyarakatan, atau dokumen berharga lainnya. Namun, semua dokumen itu seolah-olah tak berharga lagi di mata sang penilai.
Ketujuh, pengumuman nilai peserta hanya disampaikan secara lisan. Idealnya, diumumkan secara tertulis lengkap dengan rincian skor pada setiap tahapan berdasarkan rubrik penilaian yang jelas. Dengan cara demikian, peserta dapat menerima hasil seleksi dengan sikap lapang dada meskipun harus tersingkir dari ajang yang lebih bergengsi pada jenjang berikutnya.
Seperti halnya dalam sebuah festival atau lomba, keputusan tim penilai memang tidak bisa memuaskan semua peserta. Meskipun demikian, ada baiknya aroma kurang sedap yang dinilai telah menodai sikap jujur, fair, transparan, dan akuntabel dijadikan sebagai bahan refleksi bagi pihak penyelenggara dalam menggelar ajang PGB di masa-masa mendatang. Hal ini dimaksudkan agar PGB di Kendal bisa menjadi ajang yang prestisius dan bergengsi bagi para guru dalam unjuk kinerja dan prestasinya.
Yang tidak kalah penting, perlu ada reward dan penghargaan yang memadai kepada para guru berprestasi, entah dalam bentuk finansial, karier, atau beasiswa akademik. Pemkab Kendal perlu mengalokasikan dana khusus lewat APBD. Bukankah ini juga menjadi amanat UU Guru dan Dosen (pasal 36) di mana guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan? ***


This entry was posted on Saturday, July 14, 2007 . View Comments
blog comments powered by Disqus
Related Posts with Thumbnails